MEMBACA dengan CINTA .....

Written by Taurida Adinda on Friday, August 17, 2007 at 2:07 PM

MEMBACA dengan CINTA .....

Pertanyaan yang acap kali muncul saat anak-anak kita memasuki usia sekolah (masuk SD) adalah “Anak saya sudah mau masuk SD tapi belum bisa membaca, bagaimana ini?”
Di era 80-an atau sebelumnya membaca diajarkan di tingkat Sekolah Dasar. Namun saat ini kebanyakan sekolah-sekolah dasar hanya mau menerima siswa yang telah mahir membaca ketika masuk SD. Hal ini menyebabkan para orangtua –terkadang- harus memaksa anak-anak mereka untuk ‘bisa membaca’ meskipun kondisi anak belum siap untuk ‘bisa membaca’.

Belajar membaca hampir sama dengan belajar berbicara, keduanya sama-sama membutuhkan proses adaptasi. Ketika seorang bayi lahir, mereka dipaparkan pada lingkungan manusia yang satu sama lain saling berbicara dalam bahasa tertentu. Setiap hari sang bayi melihat, mendengar dan merasakan langsung bagaimana ‘bahasa’ digunakan untuk berkomunikasi. Pada usia tertentu (berbeda-beda pada setiap bayi) dengan terbata-bata mereka mulai belajar mengucapkan kata-kata. Semua menyambut gembira ketika bayi-bayi kita mulai belajar bicara. Meskipun kata-kata yang mereka ucapkan masih ‘salah-salah’, kita semua menganggap hal tersebut lucu serta dengan senang hati dan penuh kasih sayang mengajarkan cara mengucapkan kata-kata dengan benar.

Ketika belajar membaca, anak-anak juga membutuhkan dukungan suasana belajar yang sama seperti ketika mereka belajar berbicara. Mereka membutuhkan paparan lingkungan manusia yang gemar membaca. Mereka membutuhkan -setiap hari- melihat dan merasakan langsung bagaimana ‘membaca’ digunakan untuk mengetahui sesuatu. Mereka butuh merasakan langsung aura ‘nikmatnya membaca’ dari lingkungan sekitarnya. Mereka membutuhan kasih sayang, kesabaran dan pemakluman yang sama seperti yang mereka dapatkan ketika mereka belajar berbicara. Mereka membutuhkan dukungan cinta untuk belajar membaca dengan nyaman sesuai karakter unik otak mereka.
Setiap anak memiliki ‘masanya sendiri’ saat ketika mereka siap membaca. Jika proses belajar membaca bisa terbebas dari tekanan/paksaan yang akan menimbulkan trauma psikis, niscaya mereka akan dengan senang hati membaca dan membaca lagi. Apalagi jika komunitas tempat mereka dibesarkan penuh dengan buku-buku/sumber bacaan yang menarik minat mereka, saya yakin mereka akan lahir sebagai manusia-manusia pencinta buku seumur hidup.


(Irna Yoosi)




Image and video hosting by TinyPic

Menciptakan Generasi Literat
Artikel ini merupakan versi lengkap dari tulisan berjudul Menciptakan Generasi Literat, oleh Ahmad Bukhori, publikasi Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005 pada kolom Artikel.
Ditulis ulang dari H.U. Pikiran Rakyat versi cetak terbitan Sabtu, 26 Maret 2005.
Menciptakan Generasi Literat
Oleh AHMAD BUKHORI*
DOSEN saya ketika kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia yang sedang riset disertasi di Illinois, Amerika meminta saya membelikan tiga buku bacaan remaja berbahasa Inggris untuk anaknya. Buku tersebut baru akan terbit pertengahan 2005 dengan harga 40 dolaran. Dia tidak bisa membeli langsung pada saat buku tersebut pertama kali diterbitkan karena akan pulang ke Indonesia. Ketika ditanya mengapa tidak membelinya di Indonesia saja, karena saya yakin buku tersebut akan dijual di toko buku di Indonesia. Katanya, dalam kurs rupiah dia akan merasa kaget dengan harga yang seperempat gajinya sebulan itu sehingga terlalu mahal untuk anggaran perbukuannya. Kemungkinan ia berpikir dua kali atau bahkan tidak jadi membelinya.
Keengganan membeli buku untuk anak seperti di atas sering menimpa para orang tua, bahkan mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan ekonomi berkecukupan. Secara umum, kebanyakan kita merasa lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan bahkan alat-alat rumah tangga, ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, anak-anak tidak akrab dan merasa asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah. Mereka menjadi tak sayang buku karena tidak kenal.
Penyebab lain adalah dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita yang awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca. Tak heran jika masyarakat kita, termasuk anak-anak merasa asing dengan buku.
Padahal, minat membaca yang tinggi sangat penting. Kesuksesan pendidikan anak sangat bergantung pada kemampuan membaca. Minat baca yang rendah mempengaruhi kemampuan anak didik dan secara tidak langsung berakibat pada rendahnya daya saing mereka dalam percaturan internasional. Sejarah belum mencatat ada orang pintar dan hebat yang tak banyak membaca. Sayang, hal ini belum menjadi perhatian serius kebanyakan para orang tua. Gerakan pemberantasan buta huruf yang sudah lama dicanangkan pemerintah tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan dari orang tua sebagai ujung tombak pendidik anak dalam keluarga.
Jika disadari, buku merupakan investasi masa depan. Buku adalah jendela ilmu pengetahuan yang bisa membuka cakrawala seseorang. Dibanding media pembelajaran audiovisual, buku lebih mampu mengembangkan daya kreativitas dan imajinasi anak-anak karena membuat otak lebih aktif mengasosiasikan simbol dengan makna. Namun demikian, minat dan kemampuan membaca tidak akan tumbuh secara otomatis, tapi harus melalui latihan dan pembiasaan.
Definisi literasi
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profiles of America’s young adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Lingkungan literasi yang kondusif
Menciptakan generasi yang literat membutuhkan proses dan sarana yang kondusif. Lingkungan yang ideal bagi perkembangan literasi anak harus menyinergikan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga sangat dominan dalam perkembangan literasi anak. Hasil riset menunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan gemar membaca jika melihat orang tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, koran, atau majalah. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan ketika masih dalam kandungan ibunya. Wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janin yang sedang dikandungnya cenderung akan melahirkan anak yang kemudian gemar membaca.
Pendidikan anak usia dini yang semakin mendapat perhatian masyakarat hendaknya mampu meningkatkan minat baca anak. Kegiatan reading aloud atau membaca nyaring untuk anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Hal ini bisa mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca.
Membaca nyaring sangat bermanfaat bagi anak. Nicole Niamic dalam The Benefits of Reading to Your Children mengatakan, jika orang tua membacakan buku cerita ke pada anak sejak dini, mereka sebenarnya telah mengenalkan anak pada dunia lain yang mengasyikkan. Kebiasaan ini bahkan akan menentukan kesuksesan akademik mereka di kemudian hari. Anak usia dua tahun yang setiap hari sering dibacakan buku cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD dan memiliki kemampuan belajar dan berkomunikasi 2-3 kali lebih baik ketimbang anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu. Apalagi dibandingkan dengan yang tidak pernah sama sekali. Riset lebih lanjut mengatakan, anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung memiliki kemampuan matematika lebih baik. Hubungan membaca dan kemampuan akademik ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua.
Penelitian lain juga menegaskan bahwa membaca nyaring memiliki pengaruh positif lain seperti mempererat hubungan kasih sayang orang tua dan anak, mengenalkan anak pada bahasa lisan dan tulisan, meningkatkan kemampuan berbahasa anak, membuat anak menikmati dunia belajar sebagai hiburan, dan sekaligus memperluas wawasan dan pengetahuan mereka.
Semangat gemar membaca juga harus ditransformasikan ke dunia pendidikan. Sistem pendidikan perlu direformasi agar mampu mengembangkan kemampuan literasi anak sejak dini. Pengajaran di sekolah harus lebih diarahkan pada pengembangan kreativitas dan daya berpikir kritis siswa. Mulai dari sekolah dasar, anak-anak harus dibiasakan dengan tugas membaca dan membuat jurnal atau laporan bacaan. Dengan jurnal mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat tentang buku yang mereka baca. Hal ini akan meningkatkan daya nalar dan kritis anak-anak yang merupakan awal lahirnya generasi yang literat. Bila dilakukan dengan benar, daya kritis bisa berdampak positif terhadap kemajuan masyarakat.
Pemberlakukan Kurikulum Berbasis Literasi oleh pemerintah seyogyanya mendukung gerakan gemar membaca. Untuk tingkat pendidikan TK dan SD, kurikulum berbasis literasi harus mampu menanamkan reading enjoyment atau keasyik-an membaca dalam diri anak didik. Proses ini perlu didukung dengan pengetahuan guru tentang perbedaan bahasa lisan dan tulisan, pelatihan pelafalan fonik atau bunyi huruf, pengenalan kosa-kata, pemahaman dan respons terhadap teks narasi dan eksposisi, serta membaca dan menulis mandiri.
Sarana pendukung kurikulum berbasis literasi di sekolah harus menjadi perhatian agar guru bisa melaksanakan kurikulum tersebut secara kreatif. Kreativitas guru bisa menumbuhkan perhatian dan minat membaca siswa. Di antara fasilitas yang bisa meningkatkan kegemaran membaca adalah perpustakaan sekolah. Meskipun kebanyakan sekolah di negara kita sudah memiliki perpustakaan, tidak semuanya memiliki koleksi buku yang memadai atau dikelola dan dimanfaatkan secara profesional. Di negara maju seperti Amerika, setiap sekolah memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap dan dikelola dengan baik oleh pustakawan yang profesional. Setiap kelas bahkan memiliki perpustakaan kelas masing-masing. Dengan demikian, guru bisa berbuat maksimal dalam meningkatkan kegemaran membaca anak didik mereka.
Di samping keluarga dan sekolah, masyarakat juga harus mendukung pembentukan generasi literat. Para pendidik hendaknya mengadakan gerakan moral untuk menyadarkan para orang tua akan betapa pentingnya buku sehingga mereka tidak merasa enggan membelikan buku untuk anak. Mereka yang secara ekonomi kurang beruntung juga harus tetap menyadari pentingnya buku sebagai sumber ilmu. Jika buku sudah menjadi prioritas dalam mendukung pendidikan anak, banyak cara bisa dilakukan untuk menyiasati terbatasnya kemampuan ekonomi dengan membeli buku bekas bermutu yang masih layak baca sangat mudah diperoleh atau bahkan sekadar mengajak anak jalan-jalan ke toko buku.
Orang tua yang mampu harus dipacu untuk memiliki perpustakaan pribadi sehingga memotivasi anak untuk membaca. Hal ini sekaligus menjadi alternatif yang baik untuk mengurangi jam menonton TV. Di negara-negara maju, memiliki perpustakaan pribadi sudah merupakan tradisi dan kebanggaan. Perpustakaan keluarga nantinya bisa dibuka untuk umum sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh orang lain.
Untuk menyiasati lemahnya daya beli buku masyarakat, pemerintah harus melengkapi prasarana dan koleksi buku di perpustakaan umum yang telah ada. Di samping itu, untuk pemerataan dan akses yang lebih luas, perpustakaan umum baru perlu ditambah, terutama di daerah terpencil. Rasio jumlah buku dan perpustakaan dengan jumlah penduduk di Indonesia sangat jauh sekali. Idealnya, setiap kecamatan bahkan kelurahan atau desa memiliki perpustakaan umum dengan koleksi buku yang memadai dan dikelola secara profesional.
Pemerintah juga harus bekerja sama dengan dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbukuan. Pemberian pajak lebih murah atau tidak sama sekali bagi penerbit buku diharapkan akan mengurangi harga jual buku sehingga bisa lebih terjangkau oleh masyarakat. Penerbit pun hendaknya tetap memiliki idealisme yang tinggi dalam mencerdaskan masyarakat, tidak mempertimbangkan bisnis semata. Idealnya, pemerintah menyuplai semua buku yang diperlukan oleh anak-anak didik, terutama di sekolah dasar sampai menengah atas.
Beberapa tahun terakhir ini, ada fenomena kebangkitan literasi yang sangat menggembirakan di masyarakat. Semakin banyak toko buku yang menyediakan ruang baca dan diskusi bagi pengunjung dengan mengundang penulis buku atau akademisi. Idealisme juga telah membangkitkan beberapa kelompok intelektual yang peduli untuk membuka perpustakaan pribadi atau rumah baca untuk masyarakat disekitarnya. Gagasan ini sangat membantu mereka yang gemar membaca tetapi tidak memiliki buku. Banyak penerbit buku juga berusaha mendukung peningkatan literasi melalui pameran buku murah, lomba karya tulis ilmiah, bahkan memberikan kesempatan bagi para penulis buku anak untuk lebih bebas berkreasi.
Saatnya kini kita mulai melangkah nyata dalam meningkatkan minat baca anak-anak. Kita mulai dari diri sendiri dengan sering membaca di depan anak atau membacakan buku untuk mereka. Anak-anak pada hakikatnya akan meniru apa yang mereka lihat di sekelilingnya. Pepatah Sunda mengatakan, “Teng Manuk Teng, Anak Merak Kukuncungan”.
* Penulis adalah Mahasiswa School of Education, Boston University, AS, dan dosen Universitas Pendidikan Indonesia.




Image and video hosting by TinyPic

Apresiasi masyarakat terhadap MIZAN

Written by Taurida Adinda on at 8:19 PM

Apresiasi masyarakat terhadap MIZAN

“Mizan membuktikan sebagai penerbit yang produktif dan canggih. Buku-bukunya laris dan berbobot”
~M. Amien Rais~

“Mizan telah menjadi bagian dan juga perintis dinamika pemikiran dalam masyarakat Indonesia”
~Adi Sasono~

“Kontribusi paling berharga dari Mizan adalah menyumbangkan pemikiran bagi wacana Islam Indonesia”
~Prof. Dr. Azyumardi Azra~

“Kehadiran Mizan disambut sebagian besar masyarakat Indonesia karena mempunyai arti kesrtaan dalam usaha bersama mempersubur pertumbuhan tradisi intelektual yang kaya dan kreatif”
~Prof. Dr. Nurcholish Madjid~

“Saya menjadi lebih mengenal Islam dengan membaca buku-buku terbitan Mizan
~Parni Hadi~

“Jangan berhenti memberi wawasan kepada anak saya dan anak-anak Indonesia lainnya”
~Daan, P-Project~

“kehadiran Mizan tak bias dilepaskan dari konsep-konsep pencerdasan bangsa. Buku-buku yang telah diterbitkan betul-betul membuka wawasan baru”
~Miing~

“Mizan adalah penerbit yang menampilkan buku-buku yang sangat objektif dan penuh pengetahuan”
~Quraish Shihab~




Image and video hosting by TinyPic

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.